Ketua Forum Wartawan Kebudayaan
KORAN MEDSOS - Setiap tahun, tanggal 28 Oktober selalu datang dengan aroma yang berbeda. Ia tidak sekadar hari peringatan, melainkan hari perenungan nasional. Saat kita menengok kembali ke masa ketika sekumpulan anak muda di tahun 1928 berdiri tegak dan berikrar untuk menyatukan nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Kalimantan. Namun di tengah perbedaan itu, mereka melihat sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, Indonesia.
Sumpah Pemuda bukan hanya peristiwa politik, tetapi juga peristiwa kebudayaan.
Ia lahir dari kesadaran bahwa kebersamaan dalam keberagaman adalah inti dari kebudayaan bangsa ini.
Para pemuda pada masa itu bukan hanya memikirkan kemerdekaan dari penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan dari belenggu mental kolonialisme, dari rasa rendah diri terhadap bangsanya sendiri. Dengan satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, mereka mengukuhkan pondasi jati diri nasional yang berakar pada kebudayaan lokal.
Kebudayaan: Akar yang Menumbuhkan Bangsa
Kita sering memahami kebudayaan sebatas pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Tari, batik, musik, atau kuliner tradisional. Padahal kebudayaan jauh lebih dalam dari itu. Ia adalah cara berpikir, cara merasa, dan cara berperilaku suatu masyarakat.
Ia adalah sistem nilai yang mengatur bagaimana manusia memandang dirinya, sesamanya, dan alam semesta.
Kebudayaan tidak lahir di ruang kosong, ia tumbuh dari pengalaman kolektif, dari sejarah yang panjang, dari pergulatan manusia dengan lingkungannya.
Namun hari ini, kebudayaan menghadapi tantangan baru. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, nilai-nilai lokal sering kali terpinggirkan oleh budaya instan dan gaya hidup serba cepat.
Generasi muda hidup di dunia yang dihubungkan oleh algoritma, bukan oleh nilai. Banyak yang lebih mengenal budaya Korea atau Barat dibandingkan tradisinya sendiri. Tidak ada yang salah dengan keterbukaan terhadap budaya asing, tetapi menjadi masalah ketika keterbukaan itu menghapus identitas.
Di titik inilah peran pemuda menjadi sangat penting, bukan hanya sebagai penerus bangsa, tetapi penjaga ruh kebudayaan.
Pemuda dan Krisis Akar
Pemuda adalah usia yang paling dinamis dalam sejarah manusia.
Ia adalah masa pencarian, masa gelisah, masa di mana segala sesuatu terasa mungkin. Namun pada saat yang sama, di era modern ini, pemuda juga menghadapi krisis identitas, antara keinginan untuk menjadi global dan kebutuhan untuk tetap lokal.
Kita hidup di zaman di mana kecepatan lebih dihargai daripada kedalaman. Segalanya serba cepat. Berita, tren, bahkan cita-cita.
Dalam derasnya arus informasi, pemuda sering kehilangan waktu untuk merenung dan memahami makna dirinya sendiri.
Padahal, tanpa akar kebudayaan, pemuda hanya akan menjadi daun yang beterbangan, mengikuti arah angin zaman.
Seorang filsuf pernah berkata, “Bangsa yang melupakan budayanya adalah bangsa yang kehilangan masa depan.”
Begitu pula dengan pemuda. Bila generasi muda tercerabut dari kebudayaan bangsanya, maka masa depan bangsa akan rapuh.
Oleh karena itu, tugas pemuda hari ini bukan sekadar mencari posisi dalam ekonomi atau teknologi, tetapi juga menemukan tempatnya dalam kebudayaan.
*Pilar Kebudayaan: Makna yang Lebih Dalam*
Menjadi pilar kebudayaan tidak berarti harus menjadi seniman, budayawan, atau pelestari tradisi dalam arti sempit.
Menjadi pilar kebudayaan berarti menjadi manusia yang berakar.
Yang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, solidaritas, dan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan bukan hanya benda yang bisa difoto atau dipamerkan. Ia adalah laku hidup, cara kita bersikap terhadap sesama, cara kita memperlakukan alam, cara kita menghormati perbedaan. Bila semua itu dijaga, maka kita telah menjadi bagian dari pilar kebudayaan bangsa ini.
Pemuda bisa mengekspresikan peran kebudayaan dalam banyak bentuk:
• Dengan menulis dan berkarya, menyalakan obor kesadaran di tengah kegelapan zaman.
• Dengan menjaga bahasa dan sastra daerah, agar tidak punah di telan waktu.
• Dengan menghidupkan kembali tradisi dan ritual lokal, tidak untuk romantisme masa lalu, tetapi untuk memberi makna baru di masa kini.
• Dengan berinovasi dalam seni dan teknologi, tanpa kehilangan nilai luhur kemanusiaan.
Setiap tindakan kecil yang lahir dari kesadaran budaya adalah kontribusi besar bagi peradaban. Sebab kebudayaan bukanlah sesuatu yang diwariskan secara otomatis; ia hanya hidup bila dihidupkan kembali oleh generasi muda.
*Menjadi Pemuda yang Berakar dan Bertumbuh*
Pemuda yang berakar pada kebudayaan tidak berarti menolak modernitas.
Justru, ia memahami modernitas dengan kebijaksanaan lokal. Ia menggunakan teknologi untuk memperluas nilai, bukan menghapusnya. Ia berjejaring dengan dunia, tetapi tetap berpijak di bumi tempatnya lahir.
Seperti pohon yang kokoh, pemuda harus tumbuh tinggi menjulang, tetapi akarnya menancap kuat di tanah tempat ia berasal.
Kita membutuhkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara kultural dan spiritual.
Generasi yang tidak hanya fasih berbicara tentang masa depan, tetapi juga mampu mendengarkan bisikan masa lalu.
Karena di situlah letak keseimbangan: antara yang lama dan yang baru, antara tradisi dan inovasi.
Sumpah Pemuda yang Diperbarui
Maka, ketika kita memperingati Sumpah Pemuda hari ini, sudah sepatutnya kita menambahkan satu sumpah baru di dalam hati:
“Kami, pemuda Indonesia, bersumpah untuk menjunjung tinggi kebudayaan bangsa sebagai jati diri dan masa depan negeri.”
Sebab tanpa kebudayaan, kemerdekaan kehilangan arah.
Tanpa nilai, kemajuan hanyalah kekosongan.
Dan tanpa akar, segala pencapaian akan mudah tumbang.
Menjadi pemuda Indonesia hari ini bukan hanya soal siapa yang paling cepat beradaptasi, tetapi siapa yang paling teguh menjaga nilai.
Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling kaya, melainkan bangsa yang paling tahu dari mana ia berasal dan ke mana ia hendak melangkah.
Dan di antara sekian banyak harapan bangsa,
di pundak para pemudalah tiang-tiang kebudayaan itu berdiri, menyangga langit peradaban agar tidak runtuh, meneduhkan manusia agar tidak kehilangan arah, dan menyalakan api kebangsaan agar tidak padam di tengah gelapnya zaman. (*)
0 Komentar