UBRUG: Dialog Kusut di Gubuk Bata, Film Lokal Cilegon Angkat Isu Budaya dan Kesehatan Mental

KORAN MEDSOS – Film pendek “UBRUG: Dialog Kusut di Gubuk Bata” karya sutradara Hijrah Khoiron menjadi salah satu karya film lokal Cilegon yang menarik perhatian publik. Tak hanya karena temanya yang unik, tetapi juga karena keberhasilannya masuk nominasi Poster Terbaik dan Aktor Terbaik dalam ajang perfilman daerah.

Film ini mengangkat kisah para pelaku teater tradisi Ubrug dalam balutan isu kesehatan mental, sebuah pendekatan yang jarang disentuh oleh sineas lokal.

Inspirasi dan Makna di Balik “UBRUG”

Menurut sang sutradara Hijrah Khoiron, ide film ini lahir dari perjumpaannya dengan para pelestari ubrug di Cilegon.

“Saya sering berdialog dengan para pelaku ubrug. Dari situ muncul ide untuk membuat film tentang ubrug, tapi dari sudut pandang kesehatan mental,” ujarnya.

Ia memilih latar gubuk bata bukan tanpa alasan. Tempat itu memiliki kenangan personal sebagai lokasi tempatnya bermain saat kecil dan simbol gotong royong masyarakat.

“Gubuk bata menjadi lambang budaya kita yang kuat, gotong royong,” tambah Hijrah.

Bagi Hijrah, Ubrug bukan sekadar hiburan rakyat, tetapi ruang perlawanan dan pemajuan kebudayaan. Ia menegaskan bahwa film ini ingin menunjukkan bahwa pelestarian tradisi bisa dilakukan melalui medium baru, seperti film.

“Merawat budaya tidak hanya lewat panggung, tapi juga lewat karya visual,” tegasnya.

Gaya Visual dan Tantangan Teknis

Film UBRUG mengusung pendekatan visual yang khas dengan pencahayaan gelap, nuansa bata, dan teknik long take selama lima menit tanpa potongan. Teknik ini menjadi tantangan tersendiri bagi tim produksi.

“Adegan dilakukan dalam satu kali pengambilan tanpa cut. Latihannya sampai tiga hari,” ungkap Hijrah.

Menurut tim sinematografi, elemen cahaya dan gerakan kamera yang goyah digunakan untuk mengekspresikan kekusutan batin tokoh utama, Rohmat.

“Tumpukan bata itu simbol budaya. Kokoh kalau saling menguatkan, tapi rapuh kalau salah satu unsur hilang,” jelas tim artistik.

Rohmat dan Sri: Dua Jiwa dalam Dialog Kusut

Aktor Aman Tajudin, pemeran Rohmat, mengaku peran ini menjadi tantangan besar baginya. Sebagai aktor teater yang baru pertama kali bermain film, Aman harus membangun karakter dengan luka batin dan gangguan mental.

“Saya pelajari skizofrenia sebagai penyakit yang bisa disembuhkan. Tantangannya ada pada emosi yang berubah cepat,” ungkap Aman.

Salah satu adegan paling membekas adalah ketika ia harus mematahkan bata di kepala. Momen yang justru gagal di pengambilan gambar.

“Pas latihan bisa patah, tapi saat syuting malah nggak patah-patah,” kenangnya menceritakan.

Sementara itu, Siti Jubaedah yang berperan sebagai Sri, menjadi sosok penyeimbang di tengah kekusutan Rohmat.

“Sri adalah anak maestro ubrug yang dijodohkan dengan Rohmat demi menjaga napas tradisi. Meski muncul sedikit, perannya penting,” jelas Siti.

Simbolisme, Realisme, dan Bahasa Ibu

Meski sarat simbolisme, film ini tetap berakar pada realisme lokal.

“Kami gunakan dialog berbahasa Jawa sebagai pijakan emosi. Itu membuat semua pemain lebih membumi,” kata Hijrah.

Simbolisme juga hadir dalam desain poster yang menampilkan tatapan kosong Rohmat dengan tetesan darah di kepala, menggambarkan riuhnya bisikan batin yang ia alami.

Apresiasi dan Harapan

Bagi para pembuat film, masuknya UBRUG ke nominasi poster dan aktor terbaik merupakan kebanggaan tersendiri. “Kami hanya berkarya dengan sepenuh hati, selebihnya kami serahkan pada dewan juri,” kata Hijrah.

Baik Hijrah, Aman, maupun seluruh kru sepakat bahwa film ini bukan hanya karya seni, tetapi seruan moral untuk menjaga warisan budaya lokal.

“Masih ada teater tradisi ubrug di Cilegon. Harapannya, film ini bisa membuat masyarakat lebih peduli,” ujar mereka.

Ke depan, tim UBRUG berencana membuat film dokumenter tentang pelestari ubrug legendaris seperti Mang Cantel dan Mang Dedi.

“Kami ingin kisah mereka terekam sebelum terlambat,” kata Hijrah.

Menjaga Warisan, Menyembuhkan Luka

UBRUG: Dialog Kusut di Gubuk Bata membuktikan bahwa film lokal bisa menjadi jembatan antara seni, budaya, dan kesehatan mental. Di balik cerita yang kelam, film ini menyalakan kembali semangat bahwa melestarikan tradisi juga berarti menyembuhkan diri dan bangsanya. (*) 

Posting Komentar

0 Komentar