KORAN MEDSOS - Cilegon adalah kota yang hidup di antara dua dunia. Keduanya itu adalah dunia industri dan dunia spiritual. Di satu sisi, deru mesin, pabrik baja, dan geliat pembangunan menandai kemajuan ekonomi yang pesat. Di sisi lain, gema dzikir, lantunan shalawat, dan suara santri dari pesantren masih menggema di kampung-kampung.
Dua dunia ini tampak berbeda, namun sesungguhnya saling membutuhkan. Pertanyaannya, di tengah kota yang begitu modern dan sibuk, bagaimana menjadi santri di kota industri?
Tantangan Industri
Santri hari ini tidak lagi hidup di ruang yang sunyi dan terpisah dari kehidupan sosial. Mereka tumbuh di tengah perubahan yang cepat, di antara derasnya informasi, globalisasi, dan persaingan ekonomi. Kota Cilegon, dengan identitasnya sebagai kota industri strategis nasional, menuntut warganya untuk berpikir cepat, rasional, dan produktif.
Namun, di tengah dinamika itu, santri tetap memiliki peran yang tak tergantikan, yakni menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan. Di saat sebagian orang berlomba mengejar capaian materi, santri mengingatkan tentang pentingnya nilai, moral, dan makna. Santri tidak anti terhadap modernitas, tetapi mengisinya dengan nurani dan spiritualitas.
Menjadi santri di kota industri berarti memahami bahwa kemajuan tanpa moral adalah kehampaan, dan industri tanpa nilai adalah kehilangan arah.
Pesantren Budaya
Pesantren di Cilegon tidak sekadar tempat belajar agama. Ia adalah taman kebudayaan spiritual, tempat tumbuhnya nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan kebersamaan. Dari pesantren lahir tradisi marhabanan, hadroh, ziarah wali, selametan kampung, dan berbagai ekspresi budaya Islam yang memperindah kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai itu menjadi fondasi karakter warga Cilegon yang religius sekaligus terbuka. Dalam dunia industri yang keras dan penuh tekanan, pesantren menghadirkan kesejukan batin. Dalam lingkungan kerja yang kompetitif, ajaran santri menegaskan pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan kerja sebagai ibadah.
Santri mengajarkan bahwa menjadi modern tidak berarti meninggalkan tradisi. Justru tradisi yang berakar itulah yang menjaga manusia tetap memiliki arah di tengah arus kemajuan.
Modernitas Santri
Visi Cilegon Juare yang dicanangkan pemerintah kota tidak akan bermakna jika tidak ditopang oleh nilai dan kebudayaan. Juara bukan hanya tentang pembangunan fisik, gedung tinggi, atau investasi besar. Juara sejati adalah ketika masyarakatnya juara dalam akhlak, juara dalam budaya, dan juara dalam iman.
Santri adalah representasi dari visi itu. Mereka disiplin dalam belajar, jujur dalam niat, sederhana dalam hidup, dan ikhlas dalam berbuat. Cilegon membutuhkan semangat santri untuk menjadi kota yang tidak hanya unggul secara ekonomi, tetapi juga beradab secara moral dan budaya.
Cilegon Juara yang berjiwa santri berarti kota yang kokoh membangun industri tanpa kehilangan nurani. Kota yang modern tapi tetap menghormati guru, ulama, dan tradisi. Kota yang maju tapi tetap memuliakan doa.
Kolaborasi Juare
Forum Wartawan Kebudayaan (FORWARD) meyakini, santri dan kebudayaan memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Keduanya sama-sama menumbuhkan kesadaran tentang nilai dan makna. Karena itu, FORWARD mendorong terciptanya kolaborasi antara pesantren, pelaku budaya, dan insan media, agar narasi pembangunan Cilegon tidak kehilangan sisi kemanusiaan dan kebijaksanaan.
Dalam pandangan FORWARD, wartawan yang berjiwa santri adalah mereka yang menulis dengan hati, mengabarkan kebenaran dengan tanggung jawab, dan memelihara kejujuran dalam setiap berita. Di tengah hiruk-pikuk informasi, jurnalisme santri hadir sebagai suara bening yang meneduhkan.
Identitas Baja
Menjadi santri di kota industri bukanlah tentang berpakaian sarung atau tinggal di pesantren semata. Ia adalah tentang sikap hidup. Tentang bagaimana seseorang tetap menjaga nurani di tengah kompetisi, tetap berzikir di antara deru mesin, dan tetap berbudaya di tengah modernitas.
Cilegon membutuhkan lebih banyak santri dalam arti yang luas. Santri yang bekerja di pabrik dengan kejujuran, santri yang memimpin dengan amanah, santri yang menulis dengan kebijaksanaan, santri yang berkarya dengan niat ibadah.
Selama masih ada santri yang menghidupkan nilai-nilai kebaikan di tanah Cilegon, selama itu pula kota ini akan tetap berjiwa. Karena sejatinya, santri bukan sekadar status, melainkan cermin dari manusia yang tahu arah dan makna hidupnya.
Tentang Penulis
Sejak kecil, Rizal belajar mengaji di kampung dan melanjutkan pelajaran di rumah di bawah bimbingan langsung Ibunda tercinta. Mengenal dunia pesantren sejak kelas 2 SD/MI di Pondok Pesantren Yayasan Darussalam Pipitan, Serang, dan telah khatam Al-Qur’an pada usia 8 tahun.
Semasa SMA, ia aktif sebagai anggota Tim Nasyid Ad-din SMAN 1 Cilegon dan tergabung dalam Forum Ukhuwah Pelajar dan Mahasiswa Muslim (FUPMM). Kini, ia meniti jalan jurnalistik dan kebudayaan sebagai Ketua Forum Wartawan Kebudayaan (FORWARD), dengan semangat untuk menjembatani nilai-nilai santri, budaya, dan kemajuan zaman. (*)
0 Komentar