Dari Cilegon ke Yogyakarta: Jejak Agus Fahri Husein di “Empat Belas Purnama”

KORAN MEDSOS – Kabar membanggakan datang dari dunia sastra Kota Cilegon. Agus Fahri Husein, anggota Dewan Kebudayaan Kota Cilegon, terpilih menjadi salah satu dari 136 penyair Indonesia yang karyanya dimuat dalam buku antologi puisi bertajuk “Empat Belas Purnama”.

Peluncuran buku tersebut menjadi bagian dari perayaan 14 Tahun Sastra Bulan Purnama, yang dikemas dalam agenda Bincang dan Baca Puisi di Yogyakarta, pekan lalu.

Sastra Bulan Purnama dan “Empat Belas Purnama”

Acara ini menjadi penanda perjalanan panjang komunitas Sastra Bulan Purnama sejak berdiri pada tahun 2011. Selama 14 tahun, komunitas ini konsisten menjadi wadah bagi para penyair dari berbagai daerah untuk mengekspresikan gagasan dan kepekaan sosial melalui puisi.

Antologi “Empat Belas Purnama” menghimpun karya 136 penyair lintas generasi, dari nama-nama baru hingga para penyair berpengalaman yang berasal dari berbagai kota di Indonesia.

Agus Fahri Husein: Penyair, Sastrawan, dan Penggerak Kebudayaan

Nama Agus Fahri Husein bukanlah sosok baru di dunia sastra. Lahir di Singaraja, Bali, pada 28 Februari 1964, ia menghabiskan masa kecil di Ngawi dan Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1995 dan aktif menulis sejak awal dekade 1980-an.

Karya-karya sastranya telah banyak dikenal, antara lain kumpulan cerpen “Menunggu Pacar dan Cerita Lainnya” (2004), serta cerpen “Orang Gila” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam Diverse Lives: Contemporary Stories from Indonesia (Oxford University Press, 1994).

Karyanya juga menembus dunia internasional melalui terjemahan ke bahasa Swedia dalam buku Indonesien berättar: Tusen gevärskulor, tusen fjärilar (2006). Novel “Uang Terbang” yang diterbitkan pada 2014 menjadi salah satu karya pentingnya, sering dikaji dalam penelitian akademik karena menyoroti realitas sosial dan politik Indonesia modern.

Selain dikenal sebagai sastrawan, Agus juga aktif dalam organisasi kebudayaan. Ia tercatat sebagai anggota Dewan Pakar Lembaga Seni dan Budaya (LSBO) PW Muhammadiyah Banten (2024–2029) serta anggota Dewan Kebudayaan Kota Cilegon (2025–2028).

Kebanggaan untuk Cilegon

Dalam pernyataannya, Agus menyebut keikutsertaannya di antologi “Empat Belas Purnama” sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk membawa suara sastra daerah ke panggung nasional.

“Menjadi bagian dari 136 penyair Indonesia ini adalah kehormatan, tapi juga panggilan untuk terus menjaga nyala sastra di daerah. Cilegon punya banyak potensi sastra yang perlu diberi ruang,” ujarnya.

Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cilegon, Ayatullah Khumaeni menyampaikan apresiasi atas capaian tersebut. “Keterlibatan Agri di tingkat nasional membuktikan bahwa seniman dan sastrawan Cilegon mampu bersaing secara kualitas. Ini menjadi motivasi bagi generasi muda untuk terus berkarya,” ujarnya.

Menjembatani Sastra Daerah dan Nasional

Kehadiran Agri dalam buku “Empat Belas Purnama” bukan hanya memperkaya peta sastra nasional, tetapi juga menjadi bukti bahwa sastra daerah terus hidup, tumbuh, dan relevan. Dari Cilegon, suara penyair seperti Agri menjadi pengingat bahwa puisi tidak pernah mengenal batas. Ia bisa lahir dari mana saja, bahkan dari kota industri yang sarat dinamika sosial seperti Cilegon. (*)

Posting Komentar

0 Komentar