Budaya Membaca Dalā’il di Kampung-kampung

Oleh : ARIFIN AL BANTANI

Jejak Tradisi, Getaran Ruhani, dan Ketahanan Sosial

CILEGON - Di banyak kampung Nusantara, ada malam-malam yang seolah menua dengan lambat. Angin dari pematang sawah menyusup di sela rumah-rumah kayu, sementara suara anak-anak mereda, digantikan denting gelas teh dan helaan nafas para sesepuh yang duduk melingkar. 

Di tengah lingkaran itu, terdengar suara lantang namun lembut: pembacaan dalā’il, sejenis wirid atau kitab shalawat yang memadukan pujian, doa, dan zikir. Ritme kalimatnya mengalun tenang, memancarkan getaran yang mempertautkan batin dan ruang sosial kampung.

1. Dalā’il sebagai Tradisi yang Menyatukan Generasi
Budaya membaca dalā’il bukan sekadar ibadah individual yang diperkeras suara. Ia adalah ritus komunal, sebuah cara kampung menjaga kesinambungan antar generasi.

Para kiai kampung dan tetua adat membawa kenangan lisan dari guru-guru terdahulu.
Anak-anak yang duduk di pinggiran belajar meresapi bunyinya sebelum memahami maknanya.

Di sini, Dalā’il bukan hanya teks—itulah jembatan ke masa lalu, pengikat sebuah garis keilmuan (sanad) yang berlarut dari gurun Maghrib sampai teras-teras rumah di kampung Temuputih.

2. Ruang Sosial yang Menghangatkan

Ketika dalā’il dibaca di surau atau rumah warga, suasana batin kolektif kampung mengalami semacam konsolidasi halus:

Rasa kebersamaan meningkat tanpa perlu retorika: setiap suara menyatu dalam satu irama, menandakan bahwa hidup di kampung bukan hanya tentang makan dan bekerja, tetapi juga tentang memelihara jiwa bersama.

Konflik sosial melunak; mereka yang berselisih perlahan duduk dalam satu majelis, sebab teks-teks doa mengajarkan ketawaduan.

Ruang perempuan, dalam banyak kampung, juga hidup: mereka membaca dalā’il versi sendiri, kadang lebih pelan, kadang sangat merdu, sambil menyiapkan hidangan kecil—sebuah kerja budaya yang membangun solidaritas.

3. Dalā’il sebagai Pendidikan Sublim

Membaca dalā’il melatih:
disiplin lidah, kehalusan rasa,dan ketekunan memaknai.

Di kampung, dalā’il sering dipadukan dengan hadrah, rebana, marhaban, yang memperhalus suasana. Pendidikan di sini bukan kognitif semata; ia membangun emosi religius yang stabil: cinta, syukur, dan kerendahan hati. Banyak pemuda yang berkata,

“Suara dalā’il itu yang bikin saya tenang,” sebuah bukti bahwa ritual ini bertindak sebagai penyeimbang psikis di tengah tekanan ekonomi dan sosial.

4. Dimensi Mistis: Batin Kampung yang Berdenyut

Ada keyakinan samar namun kuat bahwa dalā’il membawa barakah:

menjaga kampung dari gangguan,

menenangkan musim,

mengharmoniskan hubungan manusia dan alam.

Apakah keyakinan itu rasional atau tidak bukan persoalan; yang penting adalah fungsi simboliknya: ia membuat masyarakat kampung merasa dilindungi dan terarah, sebuah psikologi kolektif yang menyehatkan.

5. Tantangan di Era Modern

Budaya membaca dalā’il mengalami tekanan baru:
a. Modernisasi dan ritme hidup cepat

Anak muda lebih sibuk bekerja, pulang malam, dan sulit hadir dalam majelis rutin.
b. Fragmentasi digital
Telepon genggam menarik perhatian, sementara tradisi lisan menuntut kehadiran dan kesabaran.
c. Pergeseran nilai
Sebagian menganggap dalā’il kuno, tak produktif, atau tak “keren”—padahal ia justru menyediakan keseimbangan batin yang dibutuhkan zaman.

6. Relevansi Baru: Menghidupkan Makna dalam Modernitas

Menariknya, di beberapa kampung, dalā’il tidak mati—justru bertransformasi:

Rekaman pembacaan disebarkan via grup WhatsApp.

Anak muda membuat versi hadrah modern dengan pola ritme kekinian.

Majelis kecil diadakan di teras rumah sambil ngopi, tetap khidmat namun lebih cair.

 Tradisi lama tidak menolak modernitas; ia bernegosiasi dengan halus

7. Penutup: Dalā’il sebagai Nafas Hening Kampung

Budaya membaca dalā’il di kampung-kampung adalah reservoir ketenangan, tempat masyarakat menyimpan energi rohani untuk menghadapi kerasnya dunia. Ia mengajarkan satu hal penting:

bahwa kecepatan zaman tak perlu menghapus kedalaman batin, dan bahwa desa memiliki cara sendiri untuk menjaga harmoni hidup.

Di tengah hiruk pikuk modernitas, suara dalā’il tetap menjadi hening yang memuliakan, gema yang menjaga kampung tetap manusiawi, lembut, dan penuh cahaya. 

Posting Komentar

0 Komentar