Ketua Forum Wartawan Kebudayaan (FORWARD)
Beberapa waktu terakhir, publik kembali dikejutkan oleh kabar tentang anak-anak di Pelabuhan Merak yang tertangkap petugas karena melompat ke laut untuk mengambil koin yang dilempar penumpang kapal. Namun yang lebih menyayat hati bukan sekadar keberadaan mereka, melainkan perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima saat diamankan.
Fenomena “anak koin” bukan hal baru di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Mereka, kebanyakan anak dari keluarga nelayan atau masyarakat pesisir miskin, menggantungkan hidup dari kepingan logam yang dilempar oleh penumpang. Dari atas kapal, adegan itu tampak seperti hiburan sederhana. Tapi bagi anak-anak yang melompat ke laut, itu adalah perjuangan hidup, sekaligus pertaruhan nyawa.
Kita sering menganggap mereka sekadar gangguan, bukan bagian dari masyarakat yang harus dilindungi. Padahal, kehadiran anak-anak koin adalah potret sosial paling jujur dari ketimpangan ekonomi yang terus kita abaikan. Mereka bukan pelaku pelanggaran, melainkan korban dari sistem sosial yang gagal memberi mereka ruang tumbuh yang layak.
Pelabuhan Merak adalah wajah depan Banten, gerbang besar yang menghubungkan Jawa dan Sumatra. Namun di balik megahnya kapal dan hiruk-pikuk arus penumpang, ada wajah lain yang luput dari perhatian: wajah anak-anak kecil yang menantang gelombang demi sekeping uang.
Tragisnya, dalam penertiban yang dilakukan petugas, perlakuan yang diterima anak-anak tersebut dilaporkan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Mereka diusir, dihukum, bahkan diperlakukan seperti pelaku kriminal.
Di sinilah kebudayaan kita sedang diuji.
Kebudayaan sejatinya bukan hanya soal seni, tradisi, atau upacara seremonial. Kebudayaan adalah cara kita memperlakukan manusia lain, terutama yang paling lemah. Maka ketika anak-anak diperlakukan tanpa kasih dan tanpa empati, di situlah kebudayaan kita sedang kehilangan maknanya.
Kita tidak menolak penertiban, tetapi cara menertibkanlah yang harus diperiksa kembali. Anak-anak tidak bisa disamakan dengan pelanggar hukum dewasa. Mereka perlu diperlakukan dengan pendekatan sosial dan pendidikan, bukan hukuman.
Pemerintah daerah, pengelola pelabuhan, dan dinas sosial seharusnya duduk bersama, mencari solusi yang manusiawi dan berkelanjutan.
Misalnya, dengan menyediakan ruang edukasi, program pembinaan, atau kegiatan produktif yang menjauhkan anak-anak dari laut dan risiko kematian. Masyarakat pun harus berhenti menjadi bagian dari masalah. Kebiasaan melempar koin ke laut, entah karena iseng atau tradisi, perlu dihentikan.
Sebab setiap koin yang dilempar bukanlah permainan, melainkan godaan maut bagi anak-anak yang mengharapkan selembar nasi dari sana. Bagi kami di Forum Wartawan Kebudayaan (FORWARD) Kota Cilegon, fenomena ini bukan sekadar berita sosial, tetapi cermin kebudayaan yang retak.
Pelabuhan seharusnya menjadi simbol pertemuan antar manusia, bukan tempat di mana kemanusiaan justru tenggelam.
Kami menyerukan agar semua pihak, aparat, masyarakat, dan media, menempatkan isu ini dalam kerangka yang lebih luas. Ini bukan hanya soal disiplin pelabuhan, tapi soal martabat manusia dan nilai kebudayaan.
Kita tidak bisa terus membangun pelabuhan yang megah jika di sekitarnya masih ada anak-anak yang hidup dari koin belas kasihan.
Kita tidak bisa berbicara tentang kemajuan jika masih menutup mata terhadap penderitaan yang terjadi di depan mata.
Pada akhirnya, setiap peristiwa sosial adalah cermin bagi kebudayaan kita sendiri. Dan tragedi anak koin di Merak menampar kesadaran kita semua, bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara nurani.
Semoga pelabuhan yang menjadi simbol pergerakan manusia ini, suatu hari nanti, juga menjadi simbol kebangkitan kemanusiaan.
Karena sejatinya, kemajuan tanpa empati hanyalah kehampaan yang dibungkus megah. (*)
0 Komentar