Ketika Mogok Kerja Berujung Bencana Ketenagakerjaan

Oleh : Faruk Oktavian
Kepala Bidang Hubungan Industri Disnaker Cilegon
 

KORAN MEDSOS - Dinamika hubungan antara pengusaha dan karyawan sering kali menentukan dunia industri di Kota Cilegon. Meskipun perselisihan hubungan industrial tidak dapat dihindari, mekanisme penyelesaiannya diatur ketat oleh beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). 

kasus yang menarik dari perspektif ketenagakerjaan adalah kasus PT. Bungasari Flour Mills, di mana PHK 92 Karyawan disinyalir merupakan respons perusahaan terhadap setelah mogok kerja yang dianggap tidak sah oleh perusahaan. Ini bermula dengan mogok kerja oleh serikat pekerja karena seorang pegawai mutasi ke Medan. Namun, surat pemberitahuan mogok kerja yang tidak sesuai dengan durasi pelaksanaannya menjadi masalah penting yang mengancam legalitas mogok kerja.

PT. Bungasari Flour Mills Cilegon menghadapi gejolak internal ketika salah satu pegawainya dimutasi ke Medan. Keputusan mutasi ini, yang mungkin dianggap sepihak atau tidak adil oleh pekerja dan serikatnya, memicu reaksi keras. Sebagai bentuk protes dan upaya menekan perusahaan, serikat pekerja memutuskan untuk melakukan aksi mogok kerja. Mogok kerja tersebut berlangsung selama 24 jam. 

Namun, di sinilah letak persoalannya. Surat pemberitahuan mogok kerja yang disampaikan oleh serikat pekerja kepada perusahaan dan Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon hanya menyebutkan durasi dari pukul 07.00 WIB hingga 18.00 WIB. 

Disparitas antara durasi yang dilaksanakan (24 jam) dan durasi yang tertulis dalam surat pemberitahuan (07.00-18.00 WIB) kemudian menjadi celah bagi perusahaan untuk menganggap mogok kerja tersebut sebagai tindakan yang tidak sah atau melanggar prosedur hukum. Konsekuensi dari anggapan ini adalah potensi PHK bagi para peserta mogok kerja yang dilakukan PUK FSKEP Bungasari Cilegon.

Sebelum membahas mogok kerja, penting untuk memahami posisi mutasi karyawan dalam Undang-Undang ketenagakerjaan. Kebijakan Mutasi karyawan merupakan bagian integral dari hak prerogatif manajemen untuk mengatur penempatan pekerja dalam upaya kebutuhan operasional perusahaan, efisiensi dan pertumbuhan perusahaan. 

Setiap keputusan relokasi telah dipertimbangkan secara matang dan diupayakan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap karyawan yang bersangkutan.

Dasar hukum mutasi karyawan di Indonesia secara spesifik, Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak mengatur secara rinci mengenai mutasi karyawan. Namun, praktik mutasi diatur secara umum diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Ini adalah dasar hukum utama kebijakan mutasi dalam perusahaan. Pasal 54 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa perjanjian kerja harus memuat "tempat pekerjaan". 

Perubahan tempat pekerjaan (mutasi) seyogyanya diatur dalam PP atau PKB, yang merupakan kesepakatan antara perusahaan dan karyawan (melalui serikat pekerja jika ada).

Meskipun tidak diatur secara eksplisit, Namun, hak ini tidak mutlak. Mutasi harus didasarkan pada alasan yang objektif dan tidak boleh merugikan hak-hak dasar pekerja, apalagi jika mutasi tersebut berpotensi menjadi demosi jabatan atau penurunan taraf hidup pekerja tanpa kompensasi yang layak. 

Meskipun persetujuan pekerja terkadang diperlukan, dalam banyak kasus, klausul mutasi sudah tercantum dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, yang secara implisit telah disetujui pekerja saat awal bekerja. Jika mutasi dianggap tidak wajar atau diskriminatif, hal ini dapat menjadi pemicu perselisihan hubungan industrial yang sah, yang mana mogok kerja adalah salah satu upaya penyelesaiannya.

Mogok Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 
Mogok kerja adalah hak dasar pekerja dan serikat pekerja yang dijamin oleh konstitusi dan secara spesifik diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal 137 UU Ketenagakerjaan menyatakan, "Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan."

Gagalnya  perundingan sebagaimana dalam Permenaker nomor Nomor : KEP.232/MEN/2003   dalam  Pasal  4    adalah  tidak  tercapainya kesepakatan  penyelesaian  perselisihan  hubungan    industrial  yang  dapat  disebabkan  karena pengusaha  tidak  mau  melakukan  perundingan  walaupun  serikat  pekerja/serikat  buruh  atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.

Namun, hak ini tidak boleh dilaksanakan secara sembarangan. UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI menetapkan prosedur dan syarat-syarat yang harus dipatuhi agar mogok kerja dianggap sah secara hukum:

1. Pemberitahuan Tertulis: Pasal 140 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mewajibkan pekerja/serikat pekerja yang bermaksud mogok kerja untuk memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon ) sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan mogok.

2. Isi Pemberitahuan: Pasal 140 ayat (2) UU Ketenagakerjaan secara eksplisit menyebutkan bahwa pemberitahuan tersebut harus memuat:
a. waktu (hari, tanggal, jam) dimulainya dan berakhirnya mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris atau nama dan tanda tangan penanggung jawab mogok kerja.

3. Pelaksanaan: Mogok kerja harus dilakukan secara tertib dan damai, tanpa mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Permasalahan utama dalam kasus antara managemen PT Bungasari Flour Mills Cilegon dengan PUK FSKEP PT Bungasari Flour Mills Cilegon terletak pada poin waktu dan durasi mogok kerja dalam surat pemberitahuan. Serikat pekerja melakukan mogok kerja selama 24 jam, namun secara tertulis hanya memberitahukan durasi dari 07.00 WIB hingga 18.00 WIB.

Menurut Pasal 140 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan, waktu dimulainya dan berakhirnya mogok kerja harus dimuat dalam pemberitahuan. Jika serikat pekerja melakukan mogok selama 24 jam tetapi surat pemberitahuan hanya mencantumkan 07.00-18.00 WIB, maka ada ketidaksesuaian yang signifikan.

Perusahaan dapat berargumen bahwa:

1. Mogok kerja dilakukan melebihi waktu yang diberitahukan: Jam kerja di luar 07.00-18.00 WIB selama 24 jam mogok tersebut tidak memiliki dasar hukum pemberitahuan. Ini bisa dianggap sebagai ketidakhadiran tanpa keterangan yang sah (mangkir) atau pelanggaran prosedur mogok kerja.

2. Ketidakjelasan Informasi: Tujuan pemberitahuan adalah agar perusahaan dapat mempersiapkan diri, termasuk mengantisipasi dampak operasional dan keamanan. Informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap mengenai durasi mogok kerja dapat dianggap sebagai pelanggaran formalitas yang berakibat pada ketidakabsahan mogok kerja.
Meskipun secara substansi mogok kerja adalah hak, persyaratan prosedural yang ketat bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara hak pekerja dan hak pengusaha, serta untuk meminimalisir dampak buruk bagi kedua belah pihak dan masyarakat. Jika prosedur tersebut tidak dipenuhi, khususnya mengenai pemberitahuan waktu, mogok kerja dapat dikategorikan sebagai mogok kerja yang tidak sah. 

Pasal 141 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pekerja/serikat pekerja yang melakukan mogok kerja secara tidak sah atau tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, tidak dilindungi dari ancaman pemutusan hubungan kerja.

Hal ini berarti, jika mogok kerja di PT. Bungasari Flour Mills dinyatakan tidak sah karena pelanggaran prosedur pemberitahuan waktu, maka para peserta mogok kerja. Konsekuensinya adalah:

1. Dianggap Mangkir: Pekerja yang berpartisipasi dalam mogok kerja tidak sah dapat dianggap tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah untuk jangka waktu tertentu. Sesuai Pasal 168 UU Ketenagakerjaan, pekerja yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis, dapat diputus hubungan kerjanya dengan kategori mengundurkan diri (walaupun pengusaha harus menempuh prosedur panggilan).

2. Pelanggaran Berat atas Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja: Perusahaan juga dapat menafsirkan tindakan mogok kerja yang tidak sah sebagai pelanggaran disipliner atau pelanggaran berat terhadap peraturan perusahaan/perjanjian kerja, yang dapat berujung pada PHK (meskipun ini perlu dibuktikan melalui prosedur yang ketat dan tidak otomatis).

Penting untuk dicatat bahwa proses PHK tidak bisa dilakukan serta merta. Perusahaan tetap harus tunduk pada prosedur mogok kerja yang diatur, termasuk memberikan surat pemanggilan bekerja kembali atau surat peringatan (jika dianggap pelanggaran disiplin) atau melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (bipartit, mediasi, hingga pengadilan hubungan industrial) jika PHK didasarkan pada alasan-alasan di luar pelanggaran indisipliner yang jelas.

Kesimpulan dan Rekomendasi 

Kasus PHK 92 karyawan di PT. Bungasari Flour Mills Cilegon menyoroti kompleksitas hubungan industrial di Kota Cilegon, di mana misinterpretasi prosedur dan kegagalan komunikasi dapat berujung pada konflik yang merugikan banyak pihak. Dan Kasus ini sebagai pelajaran berharga bagi serikat pekerja dan pengusaha mengenai pentingnya kepatuhan terhadap prosedur hukum dalam setiap aksi hubungan industrial. 

Meskipun hak untuk mogok kerja adalah hak yang dijamin, pelaksanaannya harus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Ketidakcermatan dalam penyampaian informasi, sekecil apapun itu (seperti perbedaan durasi dalam surat pemberitahuan), bisa menjadi bumerang yang membatalkan legalitas suatu aksi dan berujung pada konsekuensi serius seperti PHK.

Ini penting untuk selalu teliti dan akurat dalam memenuhi setiap persyaratan prosedural yang diatur undang-undang sebelum dan selama mogok kerja. Konsultasi dengan ahli hukum atau Dinas Tenaga Kerja sebelum melancarkan aksi mogok kerja sangat dianjurkan.

Walaupun PT. Bungasari Flour Mills Cilegon memiliki argumen kuat tentang ketidakabsahan mogok kerja, prosedur PHK harus tetap ditempuh sesuai ketentuan yang berlaku. pendekatan yang mengedepankan dialog dan mediasi melalui tripartit (melibatkan Mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon) adalah cara terbaik untuk menghindari eskalasi perselisihan dan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi kedua belah pihak. Kasus ini menegaskan bahwa dalam hubungan industrial, legalitas prosedur sama pentingnya dengan kebenaran substantif dari suatu perselisihan.

Meskipun perundingan bipartit dan pertemuan-pertemuan baik formal ataupun non formal dalam rangka musyawarah yang sudah dilakukan oleh Walikota Cilegon, Komisi 2 DPRD Cilegon, Polres Cilegon dan Disnaker Kota Cilegon dalam rangka memediasi kedua belah pihak menemui jalan buntu, langkah selanjutnya yang wajib ditempuh adalah melalui tahap tripartit dengan melibatkan mediator dari Disnaker Kota Cilegon. Proses ini penting untuk mencari solusi yang adil dan menghindari eskalasi konflik ke Pengadilan Hubungan Industrial yang lebih rumit dan memakan waktu. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi perusahaan dan serikat pekerja/karyawan untuk senantiasa mengedepankan dialog konstruktif, patuh pada perundang-undangan, dan memandang penyelesaian perselisihan sebagai upaya menjaga harmoni hubungan industrial demi kepentingan bersama.

Pada akhirnya, menjaga iklim kerja yang harmonis dan produktif memerlukan komitmen bersama dari semua pihak untuk memahami, menghormati, dan menegakkan hak serta kewajiban masing-masing sesuai koridor hukum dan prinsip niat baik. (*)

Posting Komentar

0 Komentar